Terkait rencana Pemprov DKI Jakarta untuk me-lock anggaran
yang ada dengan sistem e-budgeting, anggota Fraksi Keadilan Sejahtera
yang juga wakil ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana, menyarankan agar Pemprov
DKI melakukan pengawasan anggaran secara reguler melalui BPK. Agak janggal
menurut Triwsaksana jika eksekutif yang mengusulkan maka eksekutif juga yang
mengawasi.
Memang apa yang disampaikan Triwicaksana ada benarnya. BPK
memang diberi kewenangan mutlak untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan
pemerintah. Pemprov dalam hal ini tak diberikan wewenang untuk memilih auditor
lain dalam menangani laporan keuangan daerah. Hal itu sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Namun bila Triwisaksan mau berpikir ke depan, legislatif
tidak akan dirugikan dengan penerapan sistem ini. Justru dengan adanya sistem
ini, mekanisme kontrol anggaran dari semua pihak dapat menjaga integritas dan
kredibilitas anggota dewan yang banyak tersandung perkara hukum karena lemahnya
pengawasan dan kontrol publik. Ujung-ujungnya ketika menjadi pesakitan maka
kembali sistem yang dituding sebagai penyebabnya. Tak sedikit para tersangka
korupsi menyalahkan sistem dalam berbagi kasusnya.
Lagi pula dilihat dari segi tujuan, permasalahan yang ingin
diatasi oleh kebijakan Jokowi-Ahok ini karena ingin menekan permainan
anggaran yang kerap terjadi antara kepala dinas dan kepala suku dinas dengan
anggota DPRD DKI. Dengan diterapkannya sistem e-budgeting ini maka anggaran
yang realistis dan tidak masuk akal setelah ketok palu di DPRD bisa diawasi dan
anggaran bisa di-lock bila mencurigakan. Tak ada yang dirugikan
dalam sistem ini, kecuali mereka yang merasa kehilangan kesempatan untuk
‘mempreteli’ anggaran negara dengan memanfaatkan kelemahan mekanisme
pengawasan anggaran.
Adanya sistem e-budgeting ini sebenarnya
tak perlu dipersoalkan oleh DPRD DKI. Selain dapat meningkatkan kepercayaan
publik terhadap kinerja mereka, penerapan sistem e-budgeting ini juga sesuai
dengan semangat Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa
keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk
masyarakat.
Pengertian
Transparansi dalam PP 58/2005 ini diartikan sebagai prinsip keterbukaan yang
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi
seluas-luasnya tentang keuangan daerah dan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006.
Artinya apa yang dilakukan oleh pemerintah DKI dengan e-budgeting-nya
justru ingin ‘membumikan’ aturan tersebut kepada publik karena memang
selama ini publik tidak pernah tahu berapa pagu anggaran yang ada di setiap
SKPD. Dengan adanyae-budgeting ini, yang mudah-mudahan bisa diakses
juga oleh publik, maka peluang main mata antara oknum eksekutif dan legislatif
bisa ditekan. Pengawasan laporan anggaran yang dilakukan BPK kepada legislatif
juga akan mendapat sorotan dari publik jika kenyataannya tidak sesuai dengan
realitas di lapangan.
Masyarakat sebenarnya agak heran kenapa laporan dari
BPK tentang laporan pengawasan keuangan di daerah hasilnya ‘selalu mulus-mulus
saja’ padahal korupsi dan permainan anggaran di lapangan terus terjadi. Tak
heran banyak yang beranggapan laporan tersebut seperti direkayasa mengingat
masyarakat juga tak pernah diberi tahu pagu anggaran yang sebenarnya,
proyek apa, siapa pengelola, kemana saja alokasinya, bagaimana mekanisme
lelang atau tendernya, kapan dilaksanakan dan kapan juga kelar-nya.
Semuanya menguap tak tentu rimba. Yang pasti masyarakat selalu disodori fakta
“anggaran sudah dikucurkan sesuai dengan peruntukan dan perundangan yang
berlaku’.
Berkaca dari ini, harusnya Triwicaksana selaku anggota
dewan dari PKS yang dikenal sebagai partai dakwah harusnya tak mempersoalkan
sistem e-budgetingyang ingin diterapkan. Dukung saja sistem itu
dengan niat untuk memperbaiki keadaaan. Bila perlu Triwisaksana mendukung
sistem tersebut dengan syarat yang bisa mengakses sistem bukan hanya Gubernur
dan Wagub DKI serta Kepala Badan Pengawasan Keuangan Daerah (BPKD), Sistem bisa
diakses semua mereka yang berkepentingan agar kecurigaan yang tidak perlu bisa
disingkirkan.
Selanjutnya
biarkan sistem tersebut berjalan karena tujuannya memang agar semua komponen
saling mengawasi. Menolaknya juga percuma, karena e-budgeting memang tidak
melanggar aturan main. Rakyat berhak menuntut transparansi agar semua
anggaran yang ada di Pemprov DKI dirasakan manfaatnya oleh orang banyak, bukan
“dinikmati” sesama anggota dewan saja.
trimakasih infonya,,,
ReplyDeletesangat bermanfaat,..
mantap,,