Categories

Wednesday, March 25, 2015

E-Budgeting, Sistem Saling Mengawasi Anggaran Ala Jokowi-Ahok

Terkait rencana Pemprov DKI Jakarta untuk me-lock anggaran yang ada dengan sistem e-budgeting, anggota Fraksi Keadilan Sejahtera yang juga wakil ketua DPRD DKI Jakarta, Triwisaksana, menyarankan agar Pemprov DKI melakukan pengawasan anggaran secara reguler melalui BPK. Agak janggal menurut Triwsaksana jika eksekutif yang mengusulkan maka eksekutif juga yang mengawasi.
Memang apa yang disampaikan Triwicaksana ada benarnya. BPK memang diberi kewenangan mutlak untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan pemerintah. Pemprov dalam hal ini tak diberikan wewenang untuk memilih auditor lain dalam menangani laporan keuangan daerah. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Namun bila Triwisaksan mau berpikir ke depan, legislatif tidak akan dirugikan dengan penerapan sistem ini. Justru dengan adanya sistem ini, mekanisme kontrol anggaran dari semua pihak dapat menjaga integritas dan kredibilitas anggota dewan yang banyak tersandung perkara hukum karena lemahnya pengawasan dan kontrol publik. Ujung-ujungnya ketika menjadi pesakitan maka kembali sistem yang dituding sebagai penyebabnya. Tak sedikit para tersangka korupsi menyalahkan sistem dalam berbagi kasusnya.
Lagi pula dilihat dari segi tujuan, permasalahan yang ingin diatasi oleh kebijakan Jokowi-Ahok ini karena ingin menekan permainan anggaran yang kerap terjadi antara kepala dinas dan kepala suku dinas dengan anggota DPRD DKI. Dengan diterapkannya sistem e-budgeting ini maka anggaran yang realistis dan tidak masuk akal setelah ketok palu di DPRD bisa diawasi dan anggaran bisa di-lock bila mencurigakan. Tak ada yang dirugikan dalam sistem ini, kecuali mereka yang merasa kehilangan kesempatan untuk ‘mempreteli’ anggaran negara dengan memanfaatkan kelemahan mekanisme pengawasan anggaran.
Adanya sistem e-budgeting ini sebenarnya tak perlu dipersoalkan oleh DPRD DKI. Selain dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kinerja mereka, penerapan sistem e-budgeting ini juga sesuai dengan semangat Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 yang menyatakan bahwa keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
Pengertian Transparansi dalam PP 58/2005 ini diartikan sebagai prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah dan diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.
Artinya apa yang dilakukan oleh pemerintah DKI dengan e-budgeting-nya justru ingin ‘membumikan’ aturan tersebut kepada publik karena memang selama ini publik tidak pernah tahu berapa pagu anggaran yang ada di setiap SKPD. Dengan adanyae-budgeting ini, yang mudah-mudahan bisa diakses juga oleh publik, maka peluang main mata antara oknum eksekutif dan legislatif bisa ditekan. Pengawasan laporan anggaran yang dilakukan BPK kepada legislatif juga akan mendapat sorotan dari publik jika kenyataannya tidak sesuai dengan realitas di lapangan.
Masyarakat sebenarnya agak heran kenapa laporan dari BPK tentang laporan pengawasan keuangan di daerah hasilnya ‘selalu mulus-mulus saja’ padahal korupsi dan permainan anggaran di lapangan terus terjadi. Tak heran banyak yang beranggapan laporan tersebut seperti direkayasa mengingat masyarakat juga tak pernah diberi tahu pagu anggaran yang sebenarnya, proyek apa, siapa pengelola, kemana saja alokasinya, bagaimana mekanisme lelang atau tendernya, kapan dilaksanakan dan kapan juga kelar-nya. Semuanya menguap tak tentu rimba. Yang pasti masyarakat selalu disodori fakta “anggaran sudah dikucurkan sesuai dengan peruntukan dan perundangan yang berlaku’.
Berkaca dari ini, harusnya Triwicaksana selaku anggota dewan dari PKS yang dikenal sebagai partai dakwah harusnya tak mempersoalkan sistem e-budgetingyang ingin diterapkan. Dukung saja sistem itu dengan niat untuk memperbaiki keadaaan. Bila perlu Triwisaksana mendukung sistem tersebut dengan syarat yang bisa mengakses sistem bukan hanya Gubernur dan Wagub DKI serta Kepala Badan Pengawasan Keuangan Daerah (BPKD), Sistem bisa diakses semua mereka yang berkepentingan agar kecurigaan yang tidak perlu bisa disingkirkan.

Selanjutnya biarkan sistem tersebut berjalan karena tujuannya memang agar semua komponen saling mengawasi. Menolaknya juga percuma, karena e-budgeting memang tidak melanggar aturan main. Rakyat berhak menuntut transparansi agar semua anggaran yang ada di Pemprov DKI dirasakan manfaatnya oleh orang banyak, bukan “dinikmati” sesama anggota dewan saja.

1 comment: