Categories

Sunday, July 26, 2015

Akankah Jalan Terjal Menpora Menuju Revolusi Sepak Bola Indonesia?



Posisi Menpora Imam Nachrawi benar-benar terjepit. Sempat berada di atas angin karena didukung Presiden Jokowi, kini terdesak karena putusan sela PTUN, Wapres JK turut ikut campur serta ancaman sanksi FIFA. Lalu bagaimana sebaiknya Menpora menyikapinya?
Bagi yang mengamati sepak bola Indonesia tentunya semua pihak sepakat bahwa ada yang tidak beres dengan tata kelola PSSI. Banyak kasus klub menunggak gaji pemain dan juga yang terakhir skandal sepak bola gajah. Kini di tangan Menpora terbentang jalan menuju perbaikan. Namun perbaikan yang hendak dituju ternyata banyak yang menghambat. Lama-kelamaan jalan menuju ke sana semakin terjal.
Dalam hal pembekuan PSSI, posisi Menpora adalah point of no return. Artinya memang tidak bisa mundur. Kalau mundur maka bisa dipastikan posisi Menpora sudah kalah duluan. Wibawanya jatuh dan ke depannya tidak ada lagi perbaikan yang bisa dilakukan karena PSSI merasa sudah menang. Sebagai jalan tengah kedua-duanya harus mau melakukan kompromi. Kalau Menpora terjepit sama halnya dengan PSSI. Walau untuk sementara PSSI menang di PTUN namun kalau sanksi FIFA sudah jatuh PSSI pun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi dalam hal ini keduanya mempunyai posisi yang sama.
Untuk jalan kompromi, Menpora tampaknya sudah berada di jalan yang benar, yaitu akan mencabut SK pembekuan PSSI jikalau klub yang bertanding di Liga Indonesia hanya 16 tim. Minus Persebaya dan Arema. Tapi jikalau PSSI tetap bersikup, Menpora harus bersiap-siap menerima bola yang sangat panas.
Bola yang panas yang pertama tentunya sanksi FIFA. Bisa dipastikan Indonesia akan vakum dari persepakbolaan internasional. Yang kedua tentunya banyak klub dan pemain yang menganggur dan kehilangan pendapatan. Siapkah Menpora menghadapi ini semua? Siapkah Menpora dicaci-maki banyak orang karena menghilangkan pendapatan banyak orang?
Jikalau Menpora tidak siap, memang akan lebih baik mundur saja dari posisi menteri. Tapi jikalau siap, ia harus sesegera mungkin menentukan visi dan misi pembangunan sepak bola Indonesia mulai dari nol. Semacam blueprint untuk membangun sistem persepakbolaan Indonesia yang lebih professional di masa yang akan datang. Ya itulah revolusi sepak bola Indonesia yang ditunggu-tunggu. Dengan vakumnya Indonesia di kancah internasional, tentunya ini kesempatan bagi Indonesia untuk mempunyai waktu menata diri dulu sebelum kembali lagi ke kancah internasional.
Untuk Tim Transisi sasaran utama jangka pendeknya adalah menggelar kompetisi. Tentunya kompetisi ini adalah solusi bagi para pemain dan klub yang mengganggur akibat dibekukannya PSSI. Namun yang menjadi masalah di sini adalah semua klub tampaknya kompak untuk mendukung PSSI sepenuhnya. Dengan semua fasilitas yang dipunyai oleh PSSI, tampaknya sulit bagi Tim Transisi untuk membuat kompetisi tanpa bantuan dari PSSI. Benarkah demikian?
Dengan tidak mau bekerja samanya PSSI, PT Liga dan klub-klub maka ini bisa menjadi dasar bagi Menpora untuk memulai sesuatu yang benar-benar baru tanpa melibatkan para pemain lama. Sebagai catatan untuk Menpora, walau klub-klub tidak mendukung, namun para pemain, pelatih, official pertandingan dan lain sebagainya berdiri sendiri sebagai individu yang masing masing memerlukan pendapatan agar dapur mereka tetap mengepul. Jadi hal pertama yang harus dilakukan oleh Tim Transisi adalah mencari sponsor utama dan pendukung untuk mengerakkan kompetisi. Karena dengan adanya dana dari sponsor, banyak semut yang akan segera berbondong-bondong untuk mendatanginya.
Untuk selanjutnya penulis mencoba mengusulkan untuk mengembalikan kompetisi kepada rakyat. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Tim Transisi cukup membentuk turnamen yang pesertanya adalah seluruh rakyat Indonesia. Tidak ada batasan tim silakan tiap desa ataupun RT/RW, perkumpulan atau perusahaan membentuk tim masing-masing dan mendaftar. Lalu masing-masing kota menggelar pertandingan untuk menentukan tim terbaik  dan seterusnya tim tersebut bertarung untuk level daerah dan terakhir akan bertanding untuk tingkat nasional. Bisa juga tim pemenang kota meng-upgrade timnya dengan merekrut pemain dari tim lain dan begitu juga untuk level daerah. Jadi dengan sistem ini akan diperoleh tim dan pemain terbaik masing-masing daerah yang nantinya akan bertarung di tingkat nasional.
Dengan seluruh masyarakat berpartisipasi, gairah turnamen ini bisa terasa sampai level terbawah. Tentunya ini harus dibantu dengan hak siar televisi. Seperti halnya kita melihat siaran audisi Indonesia Idol, X Factor dll, maka format siaran turnamen ini bisa mengadaptasi sistem serupa. Presiden Jokowi pun bisa disertakan sebagai maskot untuk menarik banyak peminat. Menpora Imam Nachawi pun bisa memasang tagline turnamen “dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” sebagai branding.
Untuk format hadiah, turnamen ini bisa mengadaptasi format Liga Champions. Apabila mereka mampu menembus babak-babak berikutnya, makin lama pendapatan mereka akan naik. Hadiah di tiap-tiap babak ini diperlukan supaya masing-masing tim yang lolos ke babak berikutnya mempunyai modal tambahan untuk biaya operasional pertandingan.
Lalu sulitkah turnamen sejenis ini diwujudkan? Harusnya tidak. Jikalau Tim Transisi kesulitan membentuk panitia pertandingan tentunya bisa melalukan tender untuk para event organizer. Penulis meyakini banyak EO yang mau terlibat asal reward-nya cukup menggiurkan. Akhir kata turnamen ini adalah salah satu solusi jangka pendek namun langkah awal menuju revolusi sepak bola Indonesia. Tidak perlu takut sanksi FIFA karena ada tidaknya sanksi tidaklah berpengaruh banyak bagi prestasi sepak bola Indonsia. Ini justru momentum untuk memperbaiki carut-marut tata kelola sepak bola Indonesia.
Lalu Menpora Imam Nachrawi? Punya nyalikah Anda untuk membangun sepak bola Indonesia baru? Sepak bola yang benar-benar menjadi milik rakyat Indonesia? Bukan hanya milik para elite FIFA, PSSI dan klub. Mari kita berbagi solusi demi kemajuan sepak bola Indonesia.

No comments:

Post a Comment