Posisi Menpora Imam Nachrawi benar-benar terjepit. Sempat berada di atas angin karena didukung Presiden Jokowi, kini terdesak karena putusan sela PTUN, Wapres JK turut ikut campur serta ancaman sanksi FIFA. Lalu bagaimana sebaiknya Menpora menyikapinya?
Bagi yang mengamati sepak bola Indonesia tentunya semua
pihak sepakat bahwa ada yang tidak beres dengan tata kelola PSSI. Banyak kasus
klub menunggak gaji pemain dan juga yang terakhir skandal sepak bola gajah.
Kini di tangan Menpora terbentang jalan menuju perbaikan. Namun perbaikan yang
hendak dituju ternyata banyak yang menghambat. Lama-kelamaan jalan menuju ke
sana semakin terjal.
Dalam hal pembekuan PSSI, posisi Menpora adalah point
of no return. Artinya memang tidak bisa mundur. Kalau mundur maka bisa
dipastikan posisi Menpora sudah kalah duluan. Wibawanya jatuh dan ke depannya
tidak ada lagi perbaikan yang bisa dilakukan karena PSSI merasa sudah menang.
Sebagai jalan tengah kedua-duanya harus mau melakukan kompromi. Kalau Menpora
terjepit sama halnya dengan PSSI. Walau untuk sementara PSSI menang di PTUN
namun kalau sanksi FIFA sudah jatuh PSSI pun tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Jadi dalam hal ini keduanya mempunyai posisi yang sama.
Untuk jalan kompromi, Menpora tampaknya sudah berada di
jalan yang benar, yaitu akan mencabut SK pembekuan PSSI jikalau klub yang
bertanding di Liga Indonesia hanya 16 tim. Minus Persebaya dan Arema. Tapi
jikalau PSSI tetap bersikup, Menpora harus bersiap-siap menerima bola yang
sangat panas.
Bola yang panas yang pertama tentunya sanksi FIFA. Bisa
dipastikan Indonesia akan vakum dari persepakbolaan internasional. Yang kedua
tentunya banyak klub dan pemain yang menganggur dan kehilangan pendapatan.
Siapkah Menpora menghadapi ini semua? Siapkah Menpora dicaci-maki banyak orang
karena menghilangkan pendapatan banyak orang?
Jikalau Menpora
tidak siap, memang akan lebih baik mundur saja dari posisi menteri. Tapi
jikalau siap, ia harus sesegera mungkin menentukan visi dan misi pembangunan
sepak bola Indonesia mulai dari nol. Semacam blueprint untuk
membangun sistem persepakbolaan Indonesia yang lebih professional di masa yang
akan datang. Ya itulah revolusi sepak bola Indonesia yang ditunggu-tunggu.
Dengan vakumnya Indonesia di kancah internasional, tentunya ini kesempatan bagi
Indonesia untuk mempunyai waktu menata diri dulu sebelum kembali lagi ke kancah
internasional.
Untuk Tim Transisi sasaran utama jangka pendeknya adalah
menggelar kompetisi. Tentunya kompetisi ini adalah solusi bagi para pemain dan
klub yang mengganggur akibat dibekukannya PSSI. Namun yang menjadi masalah di
sini adalah semua klub tampaknya kompak untuk mendukung PSSI sepenuhnya. Dengan
semua fasilitas yang dipunyai oleh PSSI, tampaknya sulit bagi Tim Transisi
untuk membuat kompetisi tanpa bantuan dari PSSI. Benarkah demikian?
Dengan tidak mau bekerja samanya PSSI, PT Liga dan
klub-klub maka ini bisa menjadi dasar bagi Menpora untuk memulai sesuatu yang
benar-benar baru tanpa melibatkan para pemain lama. Sebagai catatan untuk
Menpora, walau klub-klub tidak mendukung, namun para pemain, pelatih, official pertandingan
dan lain sebagainya berdiri sendiri sebagai individu yang masing masing
memerlukan pendapatan agar dapur mereka tetap mengepul. Jadi hal pertama yang
harus dilakukan oleh Tim Transisi adalah mencari sponsor utama dan pendukung
untuk mengerakkan kompetisi. Karena dengan adanya dana dari sponsor, banyak
semut yang akan segera berbondong-bondong untuk mendatanginya.
Untuk selanjutnya penulis mencoba mengusulkan untuk
mengembalikan kompetisi kepada rakyat. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat. Tim Transisi cukup membentuk turnamen yang pesertanya adalah seluruh
rakyat Indonesia. Tidak ada batasan tim silakan tiap desa ataupun RT/RW,
perkumpulan atau perusahaan membentuk tim masing-masing dan mendaftar. Lalu
masing-masing kota menggelar pertandingan untuk menentukan tim terbaik
dan seterusnya tim tersebut bertarung untuk level daerah dan terakhir
akan bertanding untuk tingkat nasional. Bisa juga tim pemenang kota meng-upgrade timnya
dengan merekrut pemain dari tim lain dan begitu juga untuk level daerah. Jadi
dengan sistem ini akan diperoleh tim dan pemain terbaik masing-masing daerah
yang nantinya akan bertarung di tingkat nasional.
Dengan seluruh masyarakat berpartisipasi, gairah turnamen
ini bisa terasa sampai level terbawah. Tentunya ini harus dibantu dengan hak
siar televisi. Seperti halnya kita melihat siaran audisi Indonesia Idol, X
Factor dll, maka format siaran turnamen ini bisa mengadaptasi sistem serupa.
Presiden Jokowi pun bisa disertakan sebagai maskot untuk menarik banyak
peminat. Menpora Imam Nachawi pun bisa memasang tagline turnamen
“dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat” sebagai branding.
Untuk format hadiah, turnamen ini bisa mengadaptasi
format Liga Champions. Apabila mereka mampu menembus babak-babak berikutnya,
makin lama pendapatan mereka akan naik. Hadiah di tiap-tiap babak ini
diperlukan supaya masing-masing tim yang lolos ke babak berikutnya mempunyai
modal tambahan untuk biaya operasional pertandingan.
Lalu sulitkah turnamen sejenis ini
diwujudkan? Harusnya tidak. Jikalau Tim Transisi kesulitan membentuk panitia
pertandingan tentunya bisa melalukan tender untuk para event organizer.
Penulis meyakini banyak EO yang mau terlibat asal reward-nya cukup
menggiurkan. Akhir kata turnamen ini adalah salah satu solusi jangka pendek
namun langkah awal menuju revolusi sepak bola Indonesia. Tidak perlu takut
sanksi FIFA karena ada tidaknya sanksi tidaklah berpengaruh banyak bagi
prestasi sepak bola Indonsia. Ini justru momentum untuk memperbaiki carut-marut
tata kelola sepak bola Indonesia.
Lalu Menpora Imam Nachrawi? Punya
nyalikah Anda untuk membangun sepak bola Indonesia baru? Sepak bola yang
benar-benar menjadi milik rakyat Indonesia? Bukan hanya milik para elite FIFA,
PSSI dan klub. Mari kita berbagi solusi demi kemajuan sepak bola Indonesia.
No comments:
Post a Comment