Kebijakan pemblokiran situs-situs Islam yang diduga
bermuatan isu radikalisme memicu polemik cukup serius di tengah masyarakat.
Ibarat pisau bermata dua, kebijakan tersebut memang dilematis.
Fakta yang ada saat ini, cukup sukit untuk melacak
situs-situs yang memuat konten radikal. Keberadaannya sulit dilacak karena
umumnya isu radikal dimasukkan secara diam-diam, menyusup melalui konten-konten
di beberapa media tertentu dan dalam jangka waktu pemuatan yang acak. Selain
itu, pencarian kata kunci mengenai isu radikalisme pun sering kali tidak tepat
karena bisa jadi bermacam-macam hasil temuannya, misakan konten himbauan,
peringatan, dan bahkan terkadang berupa konten humor.
Hal tersebut berbeda dengan kasus pemblokiran situs porno
dan perjudian, di mana umumnya memiliki kata kunci pencarian yang populer.
Kalaupun ditemukan situs yang bermuatan radikal, umumnya tingkat pelaporan
masyarakat masih sedikit, sehingga proses penindakannya pun kurang efektif.
Itulah mengapa kemudian pemerintah, melalui Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), bersikap proaktif dalam mengupayakan deradikalisasi sedini
mungkin.
Sementara itu, pemblokiran situs-situs bermuatan radikal
didukung penuh oleh berbagai organisasi masyarakat (ormas) Jalan, seperti
Muhammadiyah dan PBNU. Ormas-ormas Islam tersebut menilai langkah Kemenkominfo
memblokir situs-situs radikal sebagai langkah positif. Sebab, penyebaran
radikalisme melalui media massa saat ini sangat berbahaya.
Namun,
ormas-ormas Islam tersebut mengingatkan pemerintah agar cermat dalam menangani
kasus pemuatan konten radikal di dunia maya. Hal ini dikarenakan pemuatan konten-konten
radikal masih sukit dilacak, dan sering kali bersembunyi di balik nama
situs-situs Islam. Dengan melibatkan ormas Islam dan kompenen masyarakat
lainnya, maka diharapkan terjadinya filtering yang cermat dan tegas.
Kebijakan pemblokiran yang dilakukan oleh Kemenkominfo dan
BNPT memiliki tujuan untuk mederadikalisasi sejak dini paham-paham sesat yang
banyak menyasar pengguna dunia maya. Adapun penggunaan media-media Islam
sebagai tempat untuk menyusupkan paham-paham radikal membuat pemerintah merasa
perlu untuk segera menindak lanjutinya melalui pemblokiran. Diharapkan
pemblokiran dapat menjadi efek jera bagi media-media Islam terkait untuk
berbenah agar lebih baik ke depannya. Pemblokiran juga menjadi cambuk pengingat
bagi situs-situs yang memuat konten radikal untuk mematuhi peraturan yang ada
guna mendukung keamanan dan ketertiban nasional.
Namun, situs-situs yang diblokir tersebut umumnya
telah terlalu jauh berbicara keluar dari aspek keislaman, yang justru dapat
menimbulkan kebencian dan benih-benih berkembangnya paham radikal. Ajaran
Islam yang lebih pada multikulturalisme lah yang seharusnya dikeluarkan
mengingat kondisi kebangsaan kita yang berada di bawah naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Jika kita tarik terlalu jauh dalam konteks bernegara, kita
akan jatuh pada sikap untuk berbuat kekerasan dan menyebar kebencian di tengah
masyarakat. Secara umum komunitas Muslim yang tidak terakomodasi dalam ruang
yang lebih terlembaga, mudah sekali menarik garis permusuhan. Jika ada hal yang
bertentangan dengan hal yang diyakininya, maka akan dimusuhi secara langsung.
Bahkan dalam tingkatan yang lebih radikal, hal-hal yang berlawanan dengan
keyakinan kelompok terkait dapat dianggap sebagai pengkafiran. Benar-benar
paham yang harus segera ditanggulangi agar tidak berkembang lebih jauh di tanah
air.
Menurut saya, pemblokiran tersebut telah tepat, namun
pemerintah perlu menyediakan ruang dialog dengan pengelola situs-situs terkait
guna menyampaikan visi kebijakan memerangi radikalisme. Jika memang nantinya
tidak ada titik terang, maka sebaiknya pemerintah tegas menutup situs yang
bermasalah guna mematikan rantai penyebaran paham radikal di Indonesia.
No comments:
Post a Comment