Singkat cerita, Dewan Transportasi Pemerintah Kota Jakarta (via Ketuanya, Ellen SW Tangkudung) menolak keberadaan GoJek. Alasannya banyak, di antaranya selain keberadaan GoJek ini ilegal (tidak terdaftar sebagai jasa angkutan) juga berpotensi akan membahayakan eksistensi angkutan umum konvensional di Jakarta. Bahaya yang dimaksud adalah penggunaan aplikasi teknologi semacam itu harus diatur oleh pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Benarkah demikian?
Suatu malam saya baru saja tiba dari
Bandung, nebeng mobil teman dan saya turun di tepi jalan. Karena sudah sangat
larut, selain sepi saya sulit sekali mencari angkutan umum. Taksi pun jarang.
Sesekali lewat namun ketika saya stop ia menolak halus karena katanya harus
kembali ke pool. Mau cari ojek, saya tidak menemukan pangkalan ojek di sekitar
situ. Alhasil saya telpon teman saya tadi untuk ikut dia sampai mencari pool
taksi atau pangkalan ojek. Walau akhirnya agak lebih jauh, paling tidak saya
bisa mendapatkan angkutan.
Kisah lain, beberapa waktu lalu saya berada di Bandung. Malam itu habis
berbuka puasa di sebuah acara saya berencana menuju tempat teman. Taksi penuh,
jalanan pun macet sekali, saya berfikir saya harus ambil ojek agar terhindar
dari kemacetan (cara pikir orang Jakarta), saya tanya satpam apa ada pangkalan
ojek dekat situ? Ternyata tidak ada, sial! Akhirnya saya iseng membuka aplikasi
GoJek karena sempat dengar jika aplikasi itu sudah masuk Bandung. Alhasil tidak
lama saya order via aplikasi sang ojek datang dan saya bisa pergi ke tempat
teman menembus kemacetan.
Kembali ke pendapat Dewan Transportasi
Pemerintah Kota Jakarta tadi, kesimpulan saya bapak dan ibu di dewan tersebut
nampaknya bukanlah pengguna ojek, atau jangan-jangan belum pernah naik ojek?
Alasan mereka menolak keberadaan GoJek menurut saya sangatlah absurd.
Kenapa? Bagaimana mungkin mereka bilang bahwa GoJek itu ilegal? padahal kita
semua tahu bahwa keberadaan ojek pangkalan pun juga ilegal? Apa ada aturan atau
perundang-undangan yang mengetur keberadaan ojek pangkalan? Saya rasa tidak
ada. Jika meminjam analogi Pak Gubernur Ahok, ojek itu seperti prostitusi,
tidak ada aturan hukumnya, tapi banyak pelanggannya dan tidak berhasil dibuat
aturan hukumnya.
GoJek, lahir sebagai sebuah aplikasi
yang memudahkan pengguna ojek seperti saya, bisa mudah mencari ojek bahkan
memanggilnya untuk datang ke tempat kita. Sejak dulu pun saya selalu
menggunakan jasa ojek sebagai kurir barang. Dulu itu saya selalu mencari ojek
langganan, saya minta no-ponselnya jadi di saat saya butuh saya tinggal sms
dia. Hanya saja, saat saya pindah kos saya harus cari langganan ojek baru
karena jika saya order langganan lama, saya harus bayar beberapa kali lipat
karena saya harus menanggung ongkos menjemputnya sebelum ia harus mengantar.
Sejak ada GoJek, seolah saya punya langganan tukang ojek banyak sekali dan
berada dimana-mana. Makanya saya pikir aplikasi ini sangat menjawab kebutuhan
pengguna ojek. Saya malah curiga jika penemu aplikasi ini adalah pengguna ojek
juga. Yang menarik lagi, aplikasi ini pun menjawab kebutuhan si tukang ojek,
yaitu ia tidak perlu menghabiskan waktu menuggu di pangkalan. Kecuali si abang
ojek emang suka nongkrong di pangkalan. Mirip seperti ojek langganan saya tadi
hanya saja kali ini pelanggannya banyak, tidak cuma saya.
Maka aneh sekali jika Dewan
Transportasi Kota saat ini semacam kebakaran jengkot dengan keberadaan aplikasi
GoJek. Padahal saya yakin sekali jika Dewan Transportasi Kota hingga hari ini
tidak punya data angkutan ojek di Jakarta. Baik ada berapa jumlahnya?
penyebarannya? atau bahkan siapa-siapa saja yang menjadi tukang ojek. Dengan
aplikasi GoJek, hal ini mulai bisa terdata. Jadi jika kelak Pemkot DKI
berinisiatif mendata atau bahkan memasang pajak dari tiap transaksinya, maka
sudah tidak sulit lagi. Yang lebih aneh lagi adalah Dewan Transportasi Kota
malah menyerang ide aplikasinya, padahal inti masalahnya ada di moda
transportasinya.
Bagi saya, jika memang Dewan
Transportasi Kota ingin mentertibkan GoJek mulailah dengan mentertibkan tukang
ojek pangkalan terlebih dahulu. Mulailah membuat aturan atas moda
transportasinya terlebih dahulu. Mulailah dengan memberikan payung hukum,
aturan, dan perundang-undangan bagi tukang ojek pangkalan juga konsumennya.
Jadi bukan malah mentertibkan aplikasi GoJek-nya.
Dengan demikian maka tidak akan ada
lagi standar ganda antara Ojek dengan GoJek, yang terkesan berpihak. Apalagi
dari beberapa teman yang saya tanya rata-rata mereka setuju dengan keberadaan
GoJek, artinya secara pasar atau sisi konsumen keberadaan GoJek sangat
dibutuhkan dan didukung. Namun sementara itu para ojek pangkalan tidak setuju
dengan GoJek, saya pikir ini hanyalah masalah waktu. Bagaimana pun pasar lebih
pegang kendali, cepat atau lambat jika konsumen ojek pangkalan menurun apakah
artinya ini salah GoJek? Boleh jadi konsumen menurun akan tetapi saya pikir
masih akan tetap ada pelanggannya bukan? Yang saya pikir pilihan ini mirip
dengan pilihan taksi TARIF ATAS dengan TARIF BAWAH. Bahwa biar saja pasar yang
akan menetukan pilihannya, sementara pemerintah membuat regulasinya.
Pesan saya untuk bapak ibu di
pemerintahan, hati-hati dengan perkembangan teknologi. Cepat atau lambat
teknologi akan merasuk ke seluruh lini struktur kota dan warganya, jika bapak
ibu tidak sigap dan siap maka akan selalu ketinggalan dan terseok-seok dalam
membuatkan regulasi. Apalagi jika regulasi-regulasinya malah melenceng dari
kebutuhan yang sebenarnya, mirip seperti masalah GoJek ini.
No comments:
Post a Comment